PALU, PIJARSULTENG – Rahim (51) duduk di bangku panjang depan warungnya. Sang istri menata gelas dan piring berisi gorengan. Pasangan asal Desa Bahomakmur ini tampak kompak. Rombongan kami singgah di warungnya menikmati pagi dengan geliat warga yang tampak sibuk.
Aroma kopi hitam menyeruak dari dapurnya. Pagi itu bukan hanya rombongan kami yang singgah. Para pekerja tampak berjejal. Menggunakan seragam dengan balutan APD mereka menikmati kudapan sebelum menuju pabrik. ‘’Dulu, jangankan warung, orang lewat saja jarang,” Salimah istrinya mengenang Desa Bahomakmur yang pernah sunyi.
Kini suasananya jauh berbeda. Jalan desa dipadati lalu lalang kendaraan. Tanah dan rumah warga dipenuhi kos kontrakan. Warung makan dan toko kelontong bermunculan di tiap sudutnya. Kehidupan keluarga Rahim dan istrinya ikut berubah. Dari keluarga kecil yang menggantungkan hidup dari kebun, kini punya penghasilan tetap dari usaha warung.
Perubahan itu ternyata tak lepas dari berdirinya PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Kawasan industri nikel terbesar di Indonesia pelopor hilirisasi ini, bak gula yang menundang semut. Ribuan pekerja berdatangan. IMIP bahkan mengubah wajah desa-desa di sekitarnya. Dari desa yang terpinggirkan, kini menjadi pusat pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah, dengan kontribusi signifikan terhadap kas daerah.
Morowali dari Hasil Pemekaran Menjadi Pusat Pertumbuhan
Kabupaten Morowali diresmikan pada 12 Oktober 1999 oleh Menteri Dalam Negeri. Operasional pemerintahan dimulai 5 Desember 1999. Pascapemekaran, bekas Kabupaten Poso ini mengandalkan sektor kelautan, perkebunan dan pertanian sebagai sumber pendapatan.
Dr Ismanudin akademisi di Universitas Tadulako, mengatakan, tiga sektor ini tidak mampu menjadi daya ungkit yang efektif untuk menopang pertumbuhan daerah. ‘’Masuknya industri tambang memberi perubahan mencolok bagi Morowali,’’ katanya pada perbincangan Selasa 19 Agustus lalu.
Kini, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Morowali melaju pesat seiring hadirnya kawasan industri PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Data Bank Indonesia Sulawesi Tengah mencatat, laju PDRB Morowali naik sebesar 7, 68 persen pada 2023. Setahun kemudian, nilainya melonjak 16 persen dari Rp158,04 triliun menjadi Rp173,86 triliun pada 2024.
Dedy Kurniawan, Media Relations Head PT IMIP, dalam pernyataannya yang dikirimkan ke redaksi pada 23 Agustus 2025, menjelaskan, penopang utama kemajuan di Kabupaten Morowali termasuk Sulawesi Tengah adalah aktivitas industri di dalam kawasan IMIP, yang setiap tahun terus menyerap tenaga kerja baru.
Hingga awal 2025, lebih dari 85.000 orang bekerja di kawasan ini, 93 persen di antaranya berasal dari wilayah Sulawesi. Lebih jauh Dedi menjelaskan, kehadiran mereka mengubah wajah Morowali. Jalan-jalan yang dulu lengang kini dipenuhi kendaraan, rumah sewa dan warung tumbuh di desa-desa.
‘’Kalau jalan sudah mulus, anak-anak ke sekolah lebih gampang,” kata Abdullah (43) saat kunjungan ke Bahodopi pertengahan Juli lalu.
Investasi pada Manusia dan Lingkungan
Dedi menjelaskan madzhab industri yang dianut PT IMIP tidak sekadar industri yang berorientasi pada mesin dan pabrik. “Kami mempunyai komitmen tinggi pada masyarakat melalui program CSR berkelanjutan. Pendidikan, kesehatan, sosial budaya, hingga lingkungan,” jelas Dedy mantan jurnalis di LKBN Antara Palu ini.
Jejak IMIP di sektor pendidikan menurut dia bisa dilacak pada pembangunan gedung baru untuk MTs Alkhairaat dengan sarana yang lengkap. Mulai ruang kelas, laboratorium, aula, dan toilet. Tak sampai di sana. Beasiswa pun diberikan bagi pelajar Bahodopi yang melanjutkan studi ke Palu, Makassar, Jogjakarta, hingga Kendari.

Guru-guru pun ketiban untung dengan kehadiran industri nikel ini. Pada 2024, sambung Dedi, sebanyak 66 guru dari 12 desa mengikuti pelatihan peningkatan kapasitas. Selain itu, IMIP bahkan menugaskan 41 guru bantu ke berbagai sekolah dari TK hingga SMA/SMK.
Selain pendidikan dan ekonomi, komitmen pada lingkungan juga ditunjukkan dengan pembangunan terminal air bersih di tiga desa serta drainase di sejumlah titik. Demikian pula di sisi energi, perusahaan mulai beralih ke teknologi ramah lingkungan. Seperti alat berat bertenaga listrik, panel surya, hingga rencana pembangunan PLTS berkapasitas 200 MWp. ‘’Prinsip kami adalah keberlanjutan, sejalan dengan target dekarbonisasi,’’ tambah Dedy yang punya pengalaman dalam liputan konflik Poso medio Mei 2000 ini.
UMKM Tumbuh Bersemi Bersama Industri
Masih menurut Dedy, ffek domino kehadiran PT IMIP sangat terasa pada geliat usaha kecil di Bahodopi. Dari data yang tercatat, hingga Februari 2024, terdapat 7.318 unit usaha warung makan, usaha binatu, kontrakan hingga jasa transportasi, beroperasi di kecamatan ini. Dan menyerap lebih dari 15.523 tenaga kerja.
“IMIP tidak hanya memberi peluang, tapi juga membina UMKM lokal. Kami bermitra dengan lebih dari 200 usaha kecil, termasuk di sektor pangan, pertanian, dan perdagangan,” ulas Dedy Kurniawan panjang lebar. Pelatihan pengolahan buah mangrove, ecoprint hingga kriya logam diselenggarakan agar warga mampu mengembangkan industri kreatif.
Bagi warga seperti Rahim dan istrinya, warung sederhana di depan rumahnya telah menjadi bagian dari denyut ekonomi baru yang berhasil mengubah nasib mereka. ‘’Warung saya jadi ramai, tiap malam ada pekerja singgah minum kopi,” kata sang istri sambil memamerkan senyum ramahnya. Kehadiran PT IMIP dan tambang nikel di wilayah itu kini justru membuka ruang hidup yang lebih luas bagi masyarakat kecil, seperti Rahim, Salimah dan Abdullah.
Asisten II Bidang Ekonomi Pemprov Sulawesi Tengah, Rudi Dewanto, mengakui kehadiran industri nikel dan produk turunannya di Morowali dan Morowali Utara telah memberikan dampak signifikan terhadap kemajuan daerah.
Meskipun mengakui adanya masalah sosial, Rudi menegaskan bahwa PT IMIP (Indonesia Morowali Industrial Park) berperan sebagai daya ungkit krusial bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal maupun Provinsi Sulawesi Tengah secara keseluruhan.
Pandangan ini tidak muncul tanpa dasar. Rudi Dewanto menyebutkan bahwa alokasi transfer daerah dari Direktorat Jenderal Pajak ke Sulawesi Tengah tahun 2025 menempatkan sektor mineral dan batubara sebagai penyumbang terbesar.
Data tersebut memperlihatkan bahwa kontribusi industri pengolahan nikel benar-benar nyata. Hal ini juga diamini oleh Kepala Bidang Minerba Dinas ESDM Provinsi Sulteng, Sultansyah, yang menegaskan bahwa keberadaan PT IMIP membawa keuntungan ekonomi langsung bagi daerah. “Warga di sekitar industri paling diuntungkan, ekonomi mereka makin bergairah, dan kesejahteraan pun meningkat,” ujarnya.

Dari sisi makro, Sultansyah menambahkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel, yang dipelopori PT IMIP, telah mendongkrak nilai ekspor Indonesia secara drastis. Jika pada 2014 ekspor nikel hanya senilai US$2,1 miliar, kini nilainya telah melonjak hingga puluhan miliar dolar. Peningkatan signifikan ini bukan hanya menambah pendapatan negara, tetapi juga berkorelasi erat dengan penciptaan lapangan kerja baru.
Lebih jauh, industri hilirisasi nikel melalui pembangunan smelter terbukti menyerap banyak tenaga kerja di berbagai level, baik teknis maupun non-teknis. Serapan tenaga kerja inilah yang kemudian membantu menekan angka pengangguran di daerah penghasil nikel seperti Morowali dan Morowali Utara.
Menurut Rudi Dewanto, efek domino dari pertumbuhan ini terlihat jelas dalam peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi Tengah, yang sebagian besar disumbang oleh industri pengolahan nikel.
Tak hanya itu, dampak positif juga tercermin dari peningkatan pajak dan royalti. Anggota DPRD Sulteng dari Fraksi Nasdem, Sony Tandra, menyoroti tren positif tersebut dengan mengapresiasi setoran pajak air permukaan yang kini mulai mengalir ke kas daerah. Meski nilainya masih relatif kecil, kontribusi PT IMIP mencapai 5,25 persen dari total Rp150 miliar pajak air permukaan. “Ini adalah tren yang baik. Saya yakin ke depan PT IMIP bisa meningkatkan kontribusinya sesuai dengan komitmen mereka,” ujarnya optimistis.
Gambaran ini semakin diperkuat oleh data Simstrada 2025. Royalti mineral dan batubara di Kabupaten Morowali tercatat sebagai yang tertinggi dibandingkan sektor lainnya. Ini membuktikan bahwa daerah penghasil pun memperoleh keuntungan besar dari kehadiran PT IMIP.
Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Amrullah dari Nelayan ke Smelter
Amrullah, seorang bujangan asal Pantai Barat, kini bekerja di PT Chengtok Lithium Indonesia (CTLI), salah satu perusahaan yang beroperasi di dalam kawasan PT IMIP. Saat ditemui di kosnya di Desa Lalampu, Kecamatan Bahodopi – Morowali, ia bercerita panjang lebar tentang kehidupannya sebelum bekerja di industri nikel.
Dulu, Amrullah hanya bisa mengandalkan pekerjaan seadanya. Ia sempat menjadi operator komputer di desanya, tetapi setelah itu menganggur. Sehari-hari ia lebih banyak membantu ayahnya melaut. Hasil tangkapan tidak menentu, kadang ada yang bisa dijual untuk membeli beras.
Kebutuhan sekolah adik-adiknya seringkali tak bisa dipenuhi, sebab prioritas utama keluarga adalah pangan. Jika cuaca buruk dan mereka tak bisa melaut, jalan lain yang ditempuh adalah menjadi buruh harian di kampung tetangga bahkan sampai ke Kota Palu. “Baru kan tidak tiap hari ada kerja bangunan. Biasanya nanti satu minggu baru ada lagi,” kenangnya.
Perubahan hidup mulai dirasakannya ketika ia melamar di PT CTLI dan diterima pada November 2024. Bekerja di kawasan industri memberi peluang yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Dari gaji bulanannya, anak pertama dari tiga bersaudara ini mampu meringankan beban orang tua, membiayai pendidikan dua adiknya, hingga memperbaiki rumah keluarganya menjadi semi permanen di kampung.
“Sekarang menabung dulu, persiapan menikah,” katanya sambil tersenyum. Ia bahkan sudah merencanakan akan mempersunting adik kelasnya di kampung. Kisah Amrullah hanyalah satu dari banyak cerita perubahan sosial-ekonomi di Morowali.
Kehadiran kawasan industri nikel seperti PT IMIP membuka lapangan kerja bagi ribuan anak muda yang sebelumnya hidup dari pekerjaan tidak menentu. Dari pantai-pantai kecil hingga desa-desa terpencil, industri ini menjadi jawaban atas keterbatasan pilihan pekerjaan di kampung.
Di awal kita mengenal Ramli dan istrinya pasangan sederhana yang merasakan denyut perubahan sejak industri besar hadir di tanahnya. Pasangan ini melihat hidupnya kini tak lagi sama. Ada harapan yang tersaji di depannya. Dulu harapan terasa jauh bak mimpi.
Di ujungnya ada Amrullah, anak muda Pantai Barat yang pernah merasakan getirnya laut, pasang surut rezeki yang tak menentu. Kini ia menapaki jalan baru. Pria yang tak sabar meminang kekasihnya menemukan cara lain untuk bertahan, bahkan merajut mimpi kecil tentang rumah yang lebih layak dan masa depan yang lebih terang.
Kisah orang-orang ini mungkin berbeda, Mereka menapaki takdir melalui jalan dan cara yang tak sama. Tapi benang merahnya tetaplah sama. Angin perubahan telah berembus di negeri berjuluk Tepe Asa Maroso . Dan di antara ribuan pekerja lain, kisah orang-orang ini menjadi bagian dari bab baru yang sedang ditulis di tanah Morowali. ***
Penulis: Hafsa