MOROWALI.PIJARSULTENG.ID, – SUARA mesin tak pernah benar-benar padam. Cerobong asap menjulang dari kawasan industri nikel, memuntahkan abu hitam yang terbawa angin ke rumah-rumah warga. Di sisi lain, batuk anak-anak kian sering terdengar di ruang-ruang tamu yang tertutup rapat. Tetapi tahun ini, bukan hanya batuk yang bersuara. Ada aksi. Ada protes. Bahkan ada teater.
Selama dua tahun terakhir, industri nikel di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara tumbuh masif. Pembangunan infrastruktur, pabrik, hingga flyover berjalan cepat. Tapi seiring dengan itu, keluhan masyarakat pun bertambah. Yang dulunya desa tenang, kini jadi lalu lintas truk tambang. Yang dulunya ladang, kini bersebelahan dengan PLTU. Yang dulunya udara segar, kini dipenuhi debu halus yang masuk ke paru-paru.
Ketua Serikat SPIBE, Akbar menjelaskan, Data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan lonjakan tajam kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selama 2023–2024.
Dari 262.160 kasus menjadi 305.191. Kabupaten Morowali mencatat jumlah tertinggi: 57.190 kasus. Warga menyebut abu dari PLTU batubara sebagai penyebab utama.
Empat kawasan industri nikel besar kini berdiri di dua kabupaten itu, masing-masing memiliki PLTU captive untuk menunjang operasional. Selain itu, perusahaan seperti PT Transon di Desa Laronai, PT Wangxiang di Desa Onepute, dan PT COR di Morowali Utara, juga mengoperasikan PLTU-nya sendiri.
Dampaknya langsung terasa. Di Dusun Kurisa, Desa Fatufia, warga melakukan empat kali aksi ke kantor PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) sepanjang 2023. Mereka menuntut penanganan atas abu batubara yang setiap hari masuk ke rumah mereka. Namun tuntutan tersebut tak kunjung ditanggapi.
Puncak kemarahan warga terjadi tahun 2024, saat warga Desa Labota menutup jalan menuju PLTU milik IMIP. Tak lama berselang, aksi serupa terjadi di Desa Topogaro, Ambunu, dan Tondo. Mereka memblokir jalan hauling milik PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP), menolak zonasi radius PLTU yang berpotensi menggusur permukiman.
Namun aksi protes kali ini berbeda. Tidak hanya berupa orasi dan spanduk, warga bersama Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi, Evergreen Indonesia, dan Serikat Buruh SBIPE, menggelar aksi teatrikal. Mereka mengubah kemarahan menjadi pertunjukan visual: mengenakan kostum bertopeng gas, memainkan adegan simbolik penderitaan karena polusi, dan menggambarkan warga yang terjepit antara pabrik dan penggusuran.
Aksi Non-Violent Direct Intervention (NVDI) itu dilakukan di jantung Kabupaten Morowali—tepat di depan kawasan industri dan kantor pemerintahan. Dengan latar mural besar bergambar paru-paru berasap dan langit kelam, mereka menyampaikan pesan: “Kami tidak diam lagi.”
“Aksi ini bukan hanya tentang menyuarakan penderitaan, tapi juga mengajak publik melihat bahwa di balik kilau nikel, ada tanah yang terancam hilang,” ujar AKbar, salah satu penggagas kampanye dari Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi.
Aksi teatrikal itu menjadi akumulasi dari berbagai bentuk kampanye warga yang selama ini terabaikan. Kini, kampanye mereka tidak lagi lokal. Jaringan masyarakat dan pekerja anti-PLTU batubara di Morowali dan Morowali Utara mulai terbentuk, saling memperkuat, dan menjangkau simpati publik nasional bahkan internasional.
Namun hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari pihak perusahaan maupun pemerintah daerah terhadap tuntutan warga dan koalisi.
para aktivis bersama warga tetap mereka melawan, tak hanya untuk hari ini, tapi untuk masa depan yang bisa mereka hirup tanpa rasa takut.***