Terkait Pembentukan Satgas Penyelesaian Konflik Agraria, EKONESIA Desak Gubernur Moratorium KPN Talaga

Donggala250 Dilihat
iklan

DONGGALA.PIJARSULTENG.ID-Yayasan Ekologi Nusantara Lestari (EKONESIA) berharap Gubenur terpilih melakukan moratorium terhadap Kawasan Pangan Nusantara (KPN) Talaga, Kecamatan Dampelas, Kabupaten Donggala.

Kiranya kasus KPN Talaga menjadi salah satu prioritas Gubenrur dalam isu keadilan agraria melalui Satgas Penyelesaian Sengketa Agraria yang konon akan dibentuk dalam waktu dekat ini.

Direktur Eksekutif EKONESIA Azmi Sirajuddin memandang bahwa berdasarkan hasil studi berkaitan dengan aspek sosial dan lingkungan, ternyata pemerintah daerah serta penyelenggara KPN Talaga belum memiliki rambu pengaman sosial dan lingkungan (Social and Environmental Safeguards).

“Sayang sekali proyek percontohan berskala nasional seperti KPN Talaga tidak memiliki rambu pengaman sosial dan lingkungan, padahal itu dibutuhkan untuk memitigasi dampak sosial dan lingkungan di kemudian hari”, ujar Azmi.

Sejak tahun 2024, EKONESIA bersama dengan MADANI Berkelanjutan dan WALHI Sulawesi Tengah telah merampungkan studi atau riset berkaitan dengan rambu pengaman sosial dan lingkungan di areal KPN Talaga. Proyek percontohan lumbung pangan daerah itu memiliki luas 1.123 Ha, terletak di Desa Talaga.

Berdasarkan informasi pada site plan yang ada, direncanakan areal tersebut akan dikelola oleh petani sebanyak 200 Kepala Keluarga dari Desa Talaga, Kambayang dan Sabang. Masing-masing Kepala Keluarga itu nantinya akan diberi akses kelola lahan sekitar 2 Ha di lokasi KPN.

Sehingga akan ada total 400 Ha lahan yang akan menjadi areal budidaya untuk tanaman pangan seperti jagung, kedelai dan sorgum. Sisa areal akan dibangun areal pembenihan, infrastruktur pendukung, serta areal penyanggah (buffer zone).

Namun ada aspek rambu pengaman sosial yang tidak diterapkan secara baik. Misalnya Free Prior and Informed Consent (FPIC). Padahal FPIC adalah prinsip dasar rambu pengaman sosial yang paling utama didahulukan.

Karena menyangkut ketersediaan informasi, kejujuran informasi, keterbukaan informasi, serta partisipasi bermakna warga dalam menentukan pendapat apakah menerima atau menolak proyek dimaksud.

Justru prinsip tersebut tidak berjalan di lapangan. Yang ada hanya sosialisasi, tapi tidak menyajikan informasi yang akuntabel, sehingga kurang mendapat informasi yang seluas-luasnya terkait KPN. Sosialisasi tidak boleh dimaknai sebagai persetujuan, karena didalamnya tidak terkandung pendapat dan sikap (consent).

Selain itu, masih ada perkara lain yang mencuar seperti ketidakjelasan subjek petani penggarap, badan pengelola, aturan atau mekanisme pengelolaan, ketidakjelasan kompensasi tanaman warga yang ditebang untuk pembukaan jalan koridor, bagi hasil penjualan kayu tebangan dari pembukaan lahan, ketidakjelasan mekanisme pengaduan, serta kedudukan alas hak petani yang akan menggarap KPN,, maupun kepastian alas hak warga yang sudah punya lahan di sekitar KPN jauh sebelum KPN dibangun.

Oleh sebab itu, EKONESIA mendesak Gubernur Sulawesi Tengah yang baru terpilih untuk menyatakan morotarium KPN Talaga. Perlu ada evaluasi menyeluruh sebelum memutuskan kelanjutan proyek dimaksud. Isu KPN Talaga sebaiknya menjadi salah satu fokus Satgas yang akan dbentuk nantinya oleh Gubernur***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *