Berdasarkan survei status gizi Indonesia tahun 2022, angka prevalensi Stunting di Sulawesi Tengah (Sulteng) mencapai 28,2%, angka ini menurun 1,5 % dari tahun sebelumnya. Namun, capaian tersebut masih di atas rata-rata nasional sebesar 21,6 %.
Berikut Laporan BJ Sri Hafsa / Pijar Sulteng.Com
DALAM rangka mewujudkan keluarga bebas Stunting untuk Indonesia dan Sulteng Sejahtera dan Maju. Pemerintah pun harus terlibat dalam memberikan solusi setidaknya membeberikan ketegasan dalam menurunkan stunting untuk itu pemerintah provinsi (Pemprov) Sulteng melalui Wakil Gubernur (Wagub) , Wagub berkomitmen mendorong kab/kota Se Sulteng berkolaborasi dengan PKK serta instansi terkait agar penanganan Stunting lebih tepat sasaran, lebih akurat, lebih efektif dan efisien.
Dari total 25 ribu kasus stunting yang dilaporkan pada tahun 2021, Kabupaten Donggala berada di urutan pertama dengan presentase 26,2 persen.
Kemudian diikuti Tojo Una-Una 19,6 persen. Setelah itu diikuti Sigi 18,1 persen. Jadi saat ini Kabupaten Donggala menempati urutan pertama dengan jumlah kasus bayi yang mengalami stunting atau kekerdilan terbanyak di Sulteng dari total jumlah kasus stunting di Sulteng sekitar 25 ribu orang pada tahun 2021.
“Dari total 25 ribu kasus stunting yang dilaporkan pada tahun 2021, Donggala berada di urutan pertama dengan presentase 26,2 persen. Kemudian diikuti Tojo Una-Una 19,6 persen. Setelah itu diikuti Sigi 18,1 persen,” kata Wagub Sulteng,Makmun Amir dalam sambutannya pada Harganas 2023.
Dan kabupaten berikutnya urutan ke empat yakni kabupaten
Morowali Utara dengan presentase kasus stunting 16,1 persen, disusul kabupaten Buol 11,9 persen, Parigi Moutong 10,9 persen, Tolitoi 10,3 persen dan Kota Palu 7,3 persen.
Makmum Amir menjelaskan, penyebab balita di Provinsi Sulteng mengalami stunting antara lain kurangnya asupan gizi selama ibu hamil, kebutuhan gizi anak yang tidak tercukupi setelah melahirkan, kemudian kurangnya pengetahuan ibu mengenai gizi sebelum hamil, saat hamil dan setelah melahirkan.

“Terbatasnya akses pelayanan kesehatan termasuk layanan kehamilan dan postnatal setelah melahirkan serta kurangnya akses air bersih dan sanitasi. Juga disebabkan oleh masih kurangnya akses mendapat makanan bergizi. Makanan bergizi mahal,” ujar Makmun Amir
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, lanjutnya, dibutuhkan komitmen dari seluruh kepala daerah di Sulteng di antaranya melalui suatu kebijakan dengan mengalokasikan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta dibantu oleh seluruh pihak yang terkait termasuk oleh lembaga kemanusiaan non pemerintah atau non government organization (NGO) yang fokus menangani masalah stunting.
Kemudian memaksimalkan fungsi pelayanan di posyandu maupun di pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) di wilaya kecamatan, kelurahan dan desa sebagai tempat berkonsultasi untuk mencegah terjadinya stunting.
“Perlu aksi nyata di lapangan. Tenaga kesehatan di posyandu maupun di puskesmas harus bekerja maksimal melayani masyarakat yang datang berkonsultasi terkait pencegahan stunting. Saya kira pemerintah provinsi dan pemerintah pusat siap membantu asal pimpinan daerahnya berkomitmen,” ucapnya.
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan janin hingga anak usia 2 tahun. Dalam jangka pendek, kekurangan gizi akan menyebabkan gangguan kecerdasan, tidak optimalnya ukuran fisik tubuh, serta gangguan metabolisme.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulteng, dr Komang Adi Sujendra, SP.PD mengatakan guna mencegah dan menangani stunting, pemprov Sulteng sudah melakukan teroboson untuk memberikan voucher atau kupon makanan tambahan bagi ibu hamil dan balita keluarga miskin, yang disalurkan langsung oleh puskesmas.
“Jadi kabupaten yang kami lakukan intervensi kemudian upaya-upaya itu dari Bappeda Provinsi Sulteng juga membuat yang namanya voucher kepada masyarakat miskin yang mungkin tidak mampu itu akan diberikan makanan tambahan melalui Puskesmasnya,” kata dr Komang.
Kata Komang juga jika dirinya juga melanjutkan program yang telah dijalankan oleh Kadis Kesehatan sebelumnya dr Reny Lamajido yang sejak tahun 2015 penanganan stunting di kabupaten khususnya di Banggai kala itu yang memiliki anak balita yang angkanya terbilang tinggi kini sudah lebih baik, terutama dengan digalakkan program posyandu pra-konsepsi. Posyandu prakonsepsi adalah rangkaian program penyelamatan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang diharapkan akan memberi hasil positif berkelanjutan pada kesehatan ibu hamil sampai anaknya mencapai usia dua tahun (baduta).
Pendampingan sejak prakonsepsi akan menambah pengetahuan ibu tentang perawatan kehamilan dan bayi mereka. Sementara waktu kontak yang lama dan intensif dengan petugas kesehatan juga diharapkan akan menambah pengetahuan ibu tentang pentingnya inisiasi menyusui dini (IMD), ASI ekslusif, serta makanan pendamping ASI yang tepat.***