MATAHARI siang tampak redup tertutup kabut tebal. Arus sungai beriak terdengar sayup-sayup. Ibu Sudariam (45), pemilik lahan, sibuk menyiangi kangkung di atas tanah merah yang dibedeng rapi. Sayur kangkung setinggi jengkal orang dewasa sebentar lagi panen, tampak tumbuh sehat. Di bedeng yang lain, sayur kol dan bayam tumbuh hijau memanjakan mata.
Sementara di kejauhan, gemuruh truk perusahaan lalu lalang mengangkut material. Namun di kebun kecil berlabel organik ini, kehidupan bertunas kembali.
Ibu Sudariam dan tiga ibu lainnya senyum semringah menatap kebun yang sebentar lagi bakal dipasok ke pasar lokal.
Di sudut yang lain, Faizal dan Rudin tampak sibuk menyambut masa tanam yang dimulai empat hari lagi. Bibit padi organik disiapkan di sebuah pendopo mungil. Keduanya duduk bersila melayani percakapan pada siang yang redup.
‘’Masa tanam akan dimulai 4 hari lagi. Sekitar tanggal 26 Juli,’’ katanya kepada wartawan, Selasa( 22/7/2025)
Sesaat Faizal mendongak, menunjukan bibit yang tumbuh lancip bak jarum persemaian. Pandangannya menyapu petak-petak sawah berisi air sebatas mata kaki yang siap ditanami.
Ibu Sudariam, Faizal dan Rudin mereka adalah petani di Desa Ululere Kecamatan Bungku Timur Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Selama ini menggeluti pertanian konvensional.
Mereka termasuk ribuan petani di bumi kaya nikel itu yang menggantungkan pertaniannya pada pupuk kimia.
Saat mencoba pupuk organik, Rudin mengaku sempat ragu. Ia mengaku khawatir hasil padinya tidak sesuai dengan hasil yang dicapainya saat menggunakan pupuk organik.
Mengingat, tanah di lahan pertaniannya sudah terbiasa dengan asupan pupuk kimia. Namun dalam benaknya, ia ingin mencoba. ‘’Tak apa dicoba saja dulu,’’ katanya.
Rekannya Faizal juga mempunyai keraguan yang sama. ‘’Saya kira organik itu hanya untuk orang kota. Padahal, tanah di sini juga bisa menerima dan beradaptasi,’’ ujarnya dengan senyum merekah. Sebelumnya, Ibu Sudariam memendam kekhawatiran serupa. ‘’ Tapi alhamdulilah, hasilnya juga bagus koq,’’ ucapnya sambil menunjukan kebun kangkung miliknya. Di tanah yang dulu bergantung pada pupuk urea, Ibu Sudariam dan kawan-kawannya sedang menanam ulang harapan.
Warga Ululere Hidup di Bayang-bayang Tambang
Ibu Sudariam, Faizal dan Rudin, seperti halnya ratusan warga di Desa Ululere lainnya sangat akrab dengan atmosfir industri tambang. Kawasan yang mengelola industri nikel telah hadir sejak 12 tahun lalu – tepatnya 2013 di Kabupaten Morowali.
Deru mesin truk raksasa pengangkut material adalah pemandangan sehari-hari warga di sana. Kontainer pengangkut logistik bagi hampir 100 ribu buruh lalu lalang – bahkan hingga merusak akses jalan nasional.
Industri tambang nikel dengan ‘’mantra’’ hilirisasi membawa kekhawatiran baru bagi petani disejumlah desa di kecamatan Bungku Timur. Ibu Asma adalah salah satunya. Ia mengeluhkan jalan hauling yang terus merembet ke tanamannya.
Termasuk sejumlah warga yang mengeluhkan perubahan warna air. Sesuatu yang belum pernah terjadi ketika industri tambang belum menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Para petani yang berjuang dengan pertanian konvensional, semakin sulit oleh distribusi karena tata kelola pupuk yang salah urus. Jika pupuk ada, harganya pun mahal. Atau, jika mengandalkan pupuk bersubsidi, birokrasinya juga sangat rumit. Setidaknya, begitu keluhan dari petani konvensional yang ditemui pada perjalanan pulang dari kebun milik Ibu Sudariam.
‘’Pupuk susah didapat. Jika ada harganya mahal. Kami benar-benar dibuat repot saat belum ada pupuk organik,’’ ujar Ibu Siti, petani sayur organik lainnya. Namun saat itu, benar-benar tidak ada pilihan lain. Sebagai warga yang hidup di bayang-bayang tambang, mereka mengaku lebih sering pasrah dan menerima.

Maslahat, warga Desa Ululere lainnya, hingga kini belum tertarik terlibat dalam pertanian organik. Meski begitu, ia mengikuti dengan cermat perkembangan rekan-rekannya yang mulai menekuni pertanian tanpa pupuk kimia tersebut.
Bapak dua anak ini mengaku masih menyimpan trauma terhadap berbagai skema pertanian baru, terlebih ide datang dari luar. Ia dan beberapa rekannya di desa tetangga pernah mencoba menanam porang, nilam dan lada karena mengikuti program yang dijanjikan membawa keuntungan. Namun saat panen tiba, harga jual anjlok.
“Pas panen harganya jatuh, terpaksa dijual murah,” katanya dengan nada getir. Belakangan diketahui, yang membeli dengan murah adalah mereka yang awalnya menawarkan tanaman-tanaman itu. Di benak Maslahat, hidup di bayang-bayang tambang bukan hanya soal bisingnya truk. Tapi juga tentang janji-janji masa depan yang sering datang dan pergi begitu cepat.
Praktek Bertani Organik, Sebuah Titik Balik
Di depan puluhan jurnalis, Rudin menceritakan panjang lebar kenapa ia ‘’menceburkan’’ diri ke pertanian organik. ‘’Padahal saya ini pengguna pupuk kimia yang setia,’’ Faizal yang duduk di sampingnya tersenyum mendengar pengakuan lugas rekannya itu.
Ketika, PT Vale datang dengan tawaran pertanian organik ia sempat ragu. Pasalnya, sudah banyak tawaran budi daya jenis tanaman yang datang di desanya. Namun pada akhirnya, tidak menghasilkan apa pun. Tetapi pada akhirnya hatinya tergerak untuk mencoba ide baru tersebut.
Maka sejak 2022, dirinya mulai beralih ke metode pertanian organik. ‘’Coba-coba dulu. Belum terlalu serius, hati saya masih lebih condong ke pertanian konvensional,’’ ujarnya membeber rahasia. Saban hari, sepulang dari sawah miliknya, ia terus memikirkan bagaimana kelak hasil panen nanti.
Namun seiring waktu, musim panen pun tiba. Di atas lahan satu hektar miliknya, ia menikmati 6 – 7 ton setiap musim panen. Itu setara dengan dua ton beras bersih. Saat ini harga pasar beras organik senilai Rp25 ribu perkilo. Setiap kali panen mampu mendulang Rp50 juta.
‘’Dengan system pertanian dulu, paling mentok empat ton gabah perhektar per sekali panen. Sekarang malah 6 -7 ton,’’ katanya sambil tersenyum. Lebih jauh Rudin, pertanian organik ternyata efisien. Bila cara konvensional membutuhkan biaya sekitar Rp7 juta perhektar, permusim tapi dengan metode pertanian organik biaya yang dibutuhkan sekitar Rp4 juta. ‘’Dari sisi biaya, memang efisien,’’ sela Faizal yang duduk di sampingnya. ‘’Sudah hemat, sehat untungnya lumayan juga kalo pake system pertanian dulu,’’ ia kembali tersenyum.
Berbeda dengan petani konvensional yang berjibaku mencari pupuk kimia, ia dan kawan-kawannya menggunakan pupuk organik yang mereka produksi sendiri berasal dari bahan-bahan alami.
Tak hanya pupuk, untuk mengendalikan hama, Rudin dan kawan-kawan menggunakan fogging yang terbuat dari sabut kelapa. Kemudian membuat wadah botol plastik, untuk memerangkap hama walangsangit dengan menggunakan ikan dan lumut sebagai umpannya.
Para petani yang bergiat di pertanian organik menghimpun diri melalui wadah, bernama Persatuan Petani SRI Organik Morowali (Pepsoli).Wadah ini dipimpin Faizal.
Ia menjelaskan, pertanian organik binaan PT Vale Indonesia Tbk, tersebar empat desa di Kecamatan Bungku Timur. Yakni, Desa Bahomoahi, Kolono, Onepute Jaya dan Desa Ululere.
Hingga saat ini sedikitnya 23 petani yang menggeluti pertanian organik di atas lahan seluas 11 hektar. Terbesar, ditempati Desa Ululere, seluas enam hektar. Seperti halnya temannya yang lain, keraguan sempat menghantui dirinya, khususnya terkait pemasaran. Ia menduga, minimnya respons atas kehadiran metode organik, disebabkan oleh keraguan yang berkaitan dengan prospek pasar.
Ia sendiri, aku Faizal merasa yakin setelah ada jaminan dari PT Vale akan menyerap hasil produksi mereka.
‘’Sekarang malah kami yang kewalahan. Permintaan pasar sangat tinggi. Vale mulai tidak kebagian,’’ katanya semringah. Pepsoli kini telah mengantongi sertifikat organik dari lembaga sertifikasi resmi.
Sertifikat ini menurut dia semakin menambah kepercayaan diri mereka, untuk menggeluti metode pertanian organik.
Bagi Rudin dan Faizal, bertani organik bukan lagi pilihan pribadi. Ini gerakan kolektif. Cara baru merawat tanah di tengah dunia yang terus berubah.
Sukses setelah Pendampingan PT Vale
Transformasi pertanian organik di Desa Ulurele dan sekitarnya tak lahir begitu saja. Di baliknya, ada peran PT Vale Indonesia Tbk melalui program Pemberdayaan Masyarakat (PPM) yang memperkenalkan inovasi pertanian ramah lingkungan.
Salah satu pendekatan yang diperkenalkan adalah metode System of Rice Intensification (SRI), sistem tanam padi dengan hanya satu benih per lubang. Awalnya, Faizal dan Rudin mengaku ragu.
“Masak satu benih bisa mengalahkan yang banyak?” kenang Rudin sambil tertawa. Namun ketika panen pertama tiba, hasilnya justru melampaui ekspektasi. “Produksi lebih tinggi, dan biaya lebih hemat,” tambahnya.

Selain metode SRI, PT Vale mendorong pemanfaatan bahan lokal seperti mikroorganisme lokal (MOL) dan limbah organik untuk membuat pupuk dan pestisida alami yang bahannya diambil di sekitar desa. Dengan demikian petani tidak lagi tergantung dengan pestisida buatan pabrik.
Manager Eksternal Relation, IGP Site Morowali Asriani Aminuddin mengatakan, bagi petani yang bersedia ‘’hijrah’’ dari metode konvensional, PT Vale memberikan pendampingan yang berkaitan dengan Pertanian Sehat Ramah Lingkungan Berkelanjutan (PSRLB). Isi programnya menyangkut beras organik dan sayur organik serta UKBM herbal.
Pendamping progam mendampingi para petani secara kontinyu di area binaan perusahaan agar pertanian organik berhasil dengan baik. Lalu, perusahaan memberikan pelatihan secafa reguler mulai dari pembuatan MOL, pembuatan kompos dan hingga pertanian organik.
Bagi petani mereka diikutkan dalam pelatihan yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Morowali dan Provinsi Sulteng. Namun tak kalah pentingnya adalah para petani diberi pelatihan pelatihan kelembagaan yang sudah terbentuk.
‘’Saya kira ini penting, karena kami hanya mendampingi petani maksimal 7 tahun. Pada fase itu, petani diharapkan sudah kuat baik dari sisi kelembagaan maupun pengetahuan praktis,’’ rinci Asriani panjang lebar.
Selama ini, PT Vale lanjut Asriani, memberikan bantuan sarana prasarana, mulai dari alat penyiangan, pencacah rumput, pemberantas hama, alat penggemburan tanah untuk tanaman sayur dan satu paket sekolah lapang organik yang sudah didukung untuk menunjang program PSRLB.
Terkait penyertaan modal, Bumdes dan Pepsoli menurut dia, bekerja sama dalam pemasaran beras sehingga Bumdes mengalokasikan dana sebagai modal ke Pepsoli. Tujuan mempermudah pemasaran produk hasil pertanian organik.
Para petani yang kini beralih ke padi organik mengaku gembira dengan metode pertanian yang mereka jalankan saat ini. Seperti yang dikatakan Faizal, dulu tanah tanah mereka dijejali pupuk kimia, dengan metode baru tumbuh harapan baru. Bukan sekadar sayur dan padi, tapi juga cara hidup baru. Lebih sehat, lebih adi, dan lebih ramah pada bumi. ***
Penulis: Syahnia Amanda YL
Penyunting: Hafsa






