Evergreen Pertanyakan Kebijakan Pemkab Parimo di Balik Penerbitan WPR

Uncategorized2 Dilihat
iklan

PARIGI MOUTONG -PIJARSULTENG-ID – Kebijakan Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) terkait penerbitan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) menuai kecurigaan dari kalangan aktivis lingkungan. Perhimpunan Evergeen Indonesia (PEI) mempertanyakan motivasi di balik penerbitan WPR yang dinilai sebagai tindakan gegabah tersebut.

“Penerbitan WPR ini dinilai sebagai tindakan gegabah dan patut dicurigai apa motivasi di baliknya,” ujar Deputi PEI Sulteng, AJI Prasetyo, Selasa 21 Oktober 2025. Aji mencurigai, kebijakan WPR tersebut sekadar ‘cover’ untuk melegitimasi operasi pertambangan ilegal yang disinyalir sudah berjalan lebih dulu.

Menurutnya, jika niatnya menata pertambangan rakyat maka Pemerintah Parimo terlebih dahulu bertindak tegas menertibkan tambang ilegal yang sudah beroperasi selama ini. Setelah ditertibkan baru kemudian membentuk WPR. “Bukan ujug-ujug langsung bentuk WPR,” tegasnya.

JPIK Kecam Wabup Parimo, Larang Jurnalis Liput Rapat Penertiban Tambang Ilegal

Sementara itu, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Sulawesi Tengah mengecam keras tindakan Wakil Bupati Parigi Moutong, H. Abdul Sahid, yang diduga menghalangi kerja jurnalistik saat rapat pembahasan Penertiban Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI).

JPIK menilai tindakan Wakil Bupati tersebut sebagai upaya serius untuk menutupi fakta kerusakan lingkungan dan mencerminkan sikap anti-transparansi pemerintah daerah. Direktur Eksekutif Daerah JPIK Sulawesi Tengah, Ikbal, menegaskan keputusan melarang jurnalis meliput rapat penertiban PETI adalah tindakan kontraproduktif terhadap upaya perlindungan lingkungan dan kehutanan.

“Jangan-jangan ada sesuatu yang ditutup-tutupi dari masyarakat. Tambang ilegal sering kali beroperasi di kawasan hutan. Kehadiran pers adalah mata dan telinga publik,” ujar Ikbal dari JPIK.

Menurut dia rapat pembahasan masalah PETI—khususnya di Kayuboko, Kecamatan Parigi Barat, yang bersinggungan langsung dengan kawasan hutan—adalah isu publik yang menyangkut kerusakan lingkungan, potensi kerugian negara, dan keselamatan masyarakat, sehingga informasinya wajib diakses publik.

“Jika akses ditutup, bagaimana publik bisa yakin bahwa penertiban yang dilakukan benar-benar tuntas, transparan, dan tidak tebang pilih?” tanya Ikbal.

JPIK menekankan bahwa penghalangan ini bukan hanya melanggar hak pers yang dijamin UU Pers No. 40 Tahun 1999 dan UU Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008, tetapi juga menciptakan preseden buruk yang menghambat pengawasan sumber daya alam oleh publik dan pemantau independen.

“Kami meminta Pemkab Parigi Moutong tidak alergi terhadap pers dan pemantau independen,” tutupnya. JPIK menilai keterbukaan informasi adalah kunci untuk memulihkan fungsi ekologis kawasan yang rusak akibat aktivitas tambang ilegal. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *