Perempuan di Tepi Tambang, Kompos Khadijah dan Ekonomi yang Bertumbuh

Sulteng41 Dilihat
iklan

MOROWALI. PIJAR SULTENG.ID – DI sebuah ruang terbuka, Ibu Khadijah (45) warga Desa Onepute Jaya, di Kabupaten Morowali, tampak sibuk dengan pekerjaannya. Tubuhnya dibalut pakaian dua lapis, sepotong wajahnya terlindungi masker. Kepalanya tertutup topi hitam. Sepatu bot selutut dan sarung tangan melindungi kaki dan tangannya. Dengan cekatan, ia mengayak sisa sampah organik, memisahkannya dari ratusan magot yang menggeliat di depan matanya.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, sampah rumah tangga dan plastik menggunung di kanan kiri. Di sudut lain, kotoran hewan (kohe) yang ditutup plastik transparan tampak menghitam dan menebarkan bau menyengat. Tapi Ibu Khadijah tidak terusik. Ia tetap serius menyelesaikan tugasnya.

Dua tahun lalu, situasinya jauh berbeda. Saat itu, Ibu Khadijah tidak tahu bagaimana caranya menambah penghasilan keluarga. Ia hanya seorang ibu rumah tangga. Sepenuhnya bergantung pada pendapatan suaminya yang bekerja sebagai pemulung besi tua, dengan penghasilan sekitar Rp500 ribu perbulan.

Jumlah itu harus cukup untuk memenuhi kebutuhan lima anaknya. Tiga di antaranya masih tinggal bersamanya. “Itu cukup?” Perempuan asal Lombok ini tak menjawab. Ia menggeleng pelan, sementara tangannya terus mengayak, melawan bau yang menyergap.

Perubahan datang pada 2023, saat ia ditawari bergabung menjadi karyawan pengolahan kompos di Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse Recycle (TPS 3R) Desa Onepute Jaya, Bungku Barat, Kabupaten Morowali – Sulawesi Tengah. Selama ini,  kompos hanya ia kenal lewat poster LSM dan baliho milik pemerintah.

Sejak saat itu, hidupnya perlahan berubah. Kini, setelah dua tahun bekerja, Ibu Khadijah belum pernah berpikir untuk beralih profesi. Penghasilan tetap sebesar Rp2 juta perbulan membuat ruang fiskalnya lebih longgar. “Apakah dua juta sudah cukup, Bu?” Tanya wartawan. Ia terdiam. “Setidaknya sudah ada tambahan,” jawabnya diplomatis.

Mengubah Cara Pandang terhadap Sampah

Sebelum kehadiran TPS 3R, sampah di Desa Onepute Jaya dibiarkan berserakan. Ada yang mengapung di sungai, terbawa angin ke jalanan, bahkan hingga ke bibir pantai. Kini, Desa Onepute Jaya nyaris bebas dari sampah basah rumah tangga. Di tangan Khadijah dan tiga rekannya, sampah menjadi sumber penghidupan baru.

Seiring meningkatnya kesadaran warga, jumlah pelanggan layanan pengangkutan sampah pun bertambah. Hingga Juni 2025, tercatat ada 300 rumah tangga sebagai pelanggan. Peningkatan ini diikuti pula oleh volume sampah yang berhasil dikumpulkan, lebih dari 20 ton, terdiri atas sampah organik dan non organik.

Menurut Sri Helda Wati, dari Lembaga W4C atau lebih dikenal Waste4Change yang mendampingi warga membuat pupuk kompos, kesadaran warga terhadap manfaat pengelolaan sampah semakin meningkat. “Volume sampah dan jumlah pelanggan adalah indikator bahwa masyarakat mulai melihat nilai ekonomi dari sampah,” ujarnya.

Helda, sapaan akrabnya mengaku keberadaan mereka sebagai pendamping akan berakhir hingga 2026 nanti. Ia berharap saat mereka kembali ke desa asalnya, transfer pengetahuan sudah terjadi. Ia menyadari, keberadaan mereka bukan semata sebagai pendamping teknis tapi mengubah pola pikir. Bahwa, sampah tak sekadar sebagai onggokan tak berguna melainkan sesuatu yang membawa nilai tambah secara ekonomi pada masyarakat. “Yang lebih penting, kita mulai mengurangi jejak karbon,” harapnya.

BERI PENJELASANKetua Pengelola TPS 3R, Tri Puji Nurjanah didampingi petugas lapangan PT Vale Indonesia Tbk, memberikan penjelasan soal TPS 3R di Desa Onepute Jaya, Kecamatan Bungku Timur, Morowali – Selasa (22/7 2025). (foto : shied/pjs)

Proses Pembuatan Kompos dari Sampah Rumah Tangga

Rekan Helda anggota dari W4C lainnya, Thiovilla Siahaya menjelaskan secara detail alur pembuatan kompos.  Sampah yang diangkut dari pemukiman warga, tidak langsung diproses begitu saja. Selanjutnya, meski telah melewati tahap pemilahan awal oleh masyarakat, begitu sampai di rumah produksi, petugas tetap melakukan penyortiran ulang.

Mereka memisahkan sampah organik dari anorganik, lalu menyingkirkan segala sisa pembungkus plastik atau bahan sintetis yang masih menempel pada limbah organik. Sampah organik yang telah bersih kemudian dicacah menggunakan mesin.

Dari sini, limbah berubah menjadi bubur kasar yang langsung diarahkan ke tahapan fermentasi. Di fase ini, bubur organik disiram larutan MOL, (mikroorganisme lokal), yang sebelumnya dicampur dengan bahan pendukung seperti kohe (kotoran hewan), serbuk gergaji atau sekam padi.

Fermentasi berlangsung selama kurang lebih tujuh hari. Dalam masa ini, adukan didiamkan agar mikroorganisme bekerja memecah bahan organik secara maksimal. Setelah seminggu, proses dilanjutkan dengan pembalikan rutin agar seluruh bagian mendapatkan asupan oksigen dan membusuk secara merata.

“Kompos biasanya sudah matang dan siap panen setelah empat sampai lima minggu,” jelasnya. Tapi pekerjaan belum selesai. Kompos yang telah jadi kembali dihancurkan agar lebih halus. Kemudian, bahan itu diayak untuk memastikan tidak ada plastik atau partikel asing tersisa. Setelah bersih dan lembut, pupuk siap dikemas dan dipasarkan kepada warga.

Kompos dengan Kualitas Terbaik

Di TPS 3R, proses pembuatan kompos dilakukan melalui lima tahap. Pengumpulan sampah terpilah, pengangkutan ke rumah produksi, pemilahan berbasis prinsip 3R, pengolahan dan akhirnya pemasaran. Ketua Pengelola TPS 3R, Tri Puji Nurjanah menjelaskan, mereka memproduksi tiga varian kompos berdasarkan kualitas.

Grade A, campuran bubur sampah organik dan maggot, Grade B kompos tanpa kohe. Dan grade A Plus, kompos paling lengkap yang terdiri dari arang sekam, kohe, bubur organik, dan disiram dengan Mikroorganisme Lokal (MAL) berbasis nasi. “Produk kami telah lolos uji laboratorium dan memiliki sertifikat dari Kementerian Pertanian,” kata Nurjanah. “Pengujian dilakukan di Jakarta, jadi kualitasnya terukur.”

Pengakuan ini diakuinya, sebagai buah perjalanan dua tahun tanpa jeda. Berkat pendampingan dari W4C dan bantuan PT Vale, kompos berhasil dibuat bahkan dengan kualitas dengan terbaik.

Tantangan Pemasaran dan Finansial

Meski kualitas produknya sangat baik, TPS 3R tidak lepas dari tantangan. Secara struktural, TPS ini seharusnya berada di bawah pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Onepute Jaya. Namun, karena operasional Bumdes mengalami kendala, pengelolaannya diambil alih Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Valone Jaya, yang juga bertugas menagih iuran warga.

Sesuai peraturan desa, iuran bulanan ditetapkan sebesar Rp20.000, untuk rumah tangga dan kos. Penjual sayur besar Rp100.000, pedagang sayur keliling Rp40.000 serta industri rumah tangga (tahu-tempe), sebesar Rp50.000. Total pendapatan dari iuran tutur Nurjanah sekitar Rp6 juta perbulan.

Selain iuran, pemasukan diharapkan datang dari penjualan kompos. Harga jual bervariasi antara Rp3.500 hingga Rp7.000 perkilogram. Sayangnya, respons pasar masih rendah. “Dalam sebulan, yang terjual hanya 5 sampai 7 kilogram, padahal kami memproduksi 500–600 kilogram,” ujar Nurjanah.

Harapannya, penjualan kompos dapat menutup biaya produksi, yang mencapai sekitar Rp8 juta per bulan. Belum termasuk gaji empat karyawan sebesar Rp2 juta perbulan. Padahal, komponen biaya terbesar berasal dari pengangkutan residu ke TPA Bungku dan pembelian kohe dari desa lain.

“Kadang saya bertanya, kami ini lagi mengolah sampah atau menumpuk masalah baru? Komposnya ada, kualitasnya bagus, tapi kalau tidak laku juga, bagaimana kami bisa bertahan?” ujarnya saat ditemui terpisah.

Ilham, Koordinator TPS 3R, menyebut persoalan utama adalah akses ke pasar.  Menurutnya, jika produk bisa terserap lebih banyak, sejatinya biaya produksi bisa tertutup. “Kami sudah berhemat di semua lini, tapi tetap saja pemasukan dan pengeluaran belum seimbang. Ada rasa khawatir tiap awal bulan, cukup atau tidak buat gaji dan operasional,” katanya membatin.

DALAM KEMASAN – Kompos produksi TPS 3R Desa Onepute Jaya, siap dipasarkan

Uluran Tangan dari PT Vale Indonesia

Perjalanan TPS 3R tak lepas dari dukungan PT Vale Indonesia. Perusahaan ini memberi bantuan berupa mesin pencacah plastik, kendaraan roda tiga, rumah produksi, serta tenaga pendamping. Bantuan ini sangat membantu kelancaran operasional.

Tri Puji Nurjanah mengakui, bantuan dari PT Vale berperan besar. Namun ia berharap ada tambahan armada khusus untuk mengangkut residu ke TPA. “Kalau ini bisa dipenuhi, biaya operasional bisa ditekan lebih jauh,” katanya.

Asriani Aminuddin, Manager External Relation PT Vale Indonesia Tbk untuk wilayah IGP Morowali, mengatakan, dukungan terhadap TPS 3R adalah bagian dari komitmen perusahaan terhadap ekonomi berkelanjutan. “Kami mendorong inisiatif pembuatan kompos untuk mendukung pengelolaan sampah yang ramah lingkungan dan menciptakan nilai tambah bagi masyarakat,” ujarnya kepada wartawan, Selasa, (22/7/2025)

Asriani menambahkan, PT Vale memilih mendukung inisiatif yang sudah berjalan, bukan membawa program baru. “Kami tidak ingin program berhenti ketika bantuan berakhir. Justru kami ingin mendukung yang sudah eksis agar bisa berlanjut, bahkan setelah PT Vale tidak lagi beroperasi di wilayah ini.

Ia melihat pendampingan dan pemberian fasilitas dalam program pembuatan kompos ini bukan sekadar aksi berbasis lingkungan. Tetapi bagian dari upaya membangun ekonomi alternatif yang berkelanjutan di lingkar tambang.

“Kami paham betul, tanggung jawab sosial bukan hanya soal memberi bantuan, Tapi bagaimana menciptakan nilai bersama. ‘’Kompos ini mungkin terlihat sepele,’’ katanya sambil menunjuk ke tumpukan sampah organik.  Tapi di baliknya ada kerja keras ibu-ibu desa, kemandirian ekonomi yang kelak terbentuk. Dan yang lebih penting masa depan yang lebih hijau. ***

Penulis: Syahnia Amanda YL
Penyunting: Hafsa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *