DPN Sulteng Sindir YAMMI ; Suara Advokasi atau Corong perusahaan?

Palu4 Dilihat
iklan

PALU PIJARSULTENG. ID– Pernyataan Yayasan Advokasi Masyarakat Madani Indonesia (YAMMI) yang menuding adanya aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di kawasan Poboya, Kota Palu, mendapat tanggapan keras dari Dewan Pertukangan Nasional (DPN) Sulawesi Tengah.

‎Ketua DPN Sulteng, Andri Gultom, mempertanyakan motif dan dasar pernyataan tersebut, bahkan menuding YAMMI terkesan seperti juru bicara perusahaan tambang PT. Citra Palu Minerals (CPM).

‎“Tidak ada PETI di Poboya. Yang ada hanyalah wilayah konsesi resmi negara yang diserahkan kepada PT. CPM , luasnya hampir sepertiga Kota Palu. Dan wilayah itu adalah tanah nenek moyang masyarakat Palu,” tegas Andri dalam keterangannya, Minggu (12/10/2025).

‎Menurut Andri, penyebutan istilah “PETI” di wilayah Poboya merupakan kekeliruan besar dan menyesatkan publik, sebab sejak negara menerbitkan izin tambang, tanggung jawab penuh atas segala aktivitas di kawasan itu berada di tangan PT. CPM, bukan masyarakat.

‎“Begitu izin dikeluarkan, maka otomatis perusahaanlah yang bertanggung jawab atas seluruh kegiatan di wilayah itu, termasuk perlindungan dan jaminan sosial bagi para pekerja rakyat yang mencari nafkah di sana,” jelasnya.

‎Andri juga menyoroti sikap YAMMI yang dianggap tidak objektif dan cenderung menekan rakyat ketimbang mendorong tanggung jawab sosial perusahaan.

‎ “Kami ingin bertanya apakah kawan-kawan YAMMI kini sudah menjadi juru bicara perusahaan PT. CPM? Karena yang berhak menyebut aktivitas di wilayah itu ilegal hanyalah perusahaan pemegang konsesi, ” sindirnya.

‎Lebih lanjut, ia menilai tudingan terhadap rakyat justru mengaburkan persoalan utama, yaitu ketimpangan pengelolaan sumber daya alam yang menyebabkan masyarakat lingkar tambang tersingkir dari ruang hidupnya sendiri.

“Yang perlu dikritisi bukan rakyat, tapi ketimpangan yang membuat mereka terpinggirkan di tanah sendiri. Rakyat tidak menambang untuk kaya, mereka menambang untuk hidup,” tegas Andri.

‎Andri juga menantang pihak-pihak yang kerap menyalahkan rakyat agar lebih dulu menelusuri kontribusi sosial perusahaan terhadap masyarakat lingkar tambang.

‎“Apakah PT. CPM sudah memberi kontribusi maksimal? Apakah mayoritas pekerjanya warga lokal, atau justru orang luar yang hanya berdomisili sementara? Apakah masyarakat Palu yang tidak punya ijazah berhak bekerja di sana?” ujarnya.

‎Menurutnya, ketika perusahaan belum mampu menghadirkan keadilan sosial dan ekonomi bagi warga sekitar, negara wajib membuka ruang agar rakyat bisa ikut mengelola sumber daya secara legal dan bermartabat, melalui skema Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

‎“Jangan salah alamat. Menuding rakyat sebagai pelaku PETI tanpa memahami struktur izin tambang nasional adalah bentuk pembalikan logika hukum dan moral. Yang harus dipertanyakan bukan rakyat, tapi tanggung jawab perusahaan atas wilayah yang telah diberikan negara kepadanya.” tegasnya.

‎Ia mengaku, kejadian yang merenggut korban jiwa di tambang Poboya belum lama ini merupakan tanggungjawab pihak perusahaan. Mestinya, perusahaan tidak menjadikan rakyat sebagai orang asing di wilayah konsesinya. Melainkan ikut menata dan memberikan pendampingan bagi pekerja tambang rakyat yang ingin mencari nafkah bersama.

‎”Termasuk memberi perlindungan sosial ketenagakerjaan juga bagian dari keberpihakan perusahaan terhadap masyarakat, ” tutupnya. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *