Dianggap Tidak Adil Warga Toviora Tolak Sebagian Rekomendasi Pemkab Donggala

Uncategorized15 Dilihat
iklan

Rapat membahas penyelesaian konflik agraria antara PT Lestari Tanah Teladan (PT LTT) dengan warga Desa Toviora di Kantor Bupati Donggala, Senin 27 Oktober 2025 diwarnai penolakan. Warga menolak rekomendasi itu karena dianggap merugikan mereka dan lebih menguntungkan perusahaan.

Rekomendasi yang dibacakan Asisten 1 Pemkab Donggala Yusuf Lamakampali, beberapa di antaranya dianggap merugikan warga.  Ada beberapa poin dalam rekomendasi Pemkab Donggala yang ditentang warga. Pertama adalah tentang usulan agar lahan HGU PT LTT seluas 194.42 hektar yang saat ini belum diolah oleh perusahaan dapat dijadikan lokasi percepatan  kebun masyarakat yang akan menjadi bagian 20 persen kewajiban perusahaan.

Menurut Syamsudin dari Aliansi Masyarakat Toviora, poin tersebut harus dipertegas lagi lahan tersebut adalah di luar dari lokasi yang diduduki saat ini dan itu sudah masuk dalam klaim warga.  Poin keberatan selanjutnya adalah anjuran agar kedua belah pihak, PT LTT dan warga Toviora harus menjalankan dan mematuhi rekomendasi dari Pemkab dan GTRA Kabupaten Donggala.

Di poin ini lagi – lagi, Syamsudin menolak. Menurut dia sepanjang belum ada kesepakatan dipenuhinya tuntutan warga agar, eks HGU PT Letawa (HGU 18 dan HGU 19), maka warga tidak punya kewajiban untuk menjalankan rekomendasi yang jelas-jelas merugikan mereka.  ‘’Tuntutan kami jelas, warga eks HGU PT LTT, harus diserahkan kepada warga,’’ tegasnya.

Lebih jauh Syamsudin mengatakan, rekomendasi yang disusun belum mencerminkan aspirasi yang dituntut masyarakat. Peruntukan plasma menurut dia kewajiban dilaksanakan untuk kebun masyarakat. Jika perusahaan tidak melaksanakan pola plasma, mestinya pemerintah mencabut izin perusahaan.

Dia juga menyoroti Kantor Pertanahan Kabupaten Donggala termasuk Pemkab yang tidak transparan.  ‘’Kami masyarakat tidak tahu menahu terkait HGU PT LTT. Selama ini perusahaan  tidak pernah memperlihatkan peta HGU. Yang diperlihatkan hanya peta kerja,’’ kritikanya.

Sebaliknya, Syamsudin merespons baik tiga rekomendasi dari Satgas PKA Sulteng yang disampaikan Eva Susanti Bande. Menurut dia, tiga poin rekomendasi Satgas PKA tersebut, sejalan dengan tuntutan warga dan mencerminkan keberpihakan Pemprov Sulteng terhadap perjuangan warga mengklaim tanah-tanah mereka.

Tiga poin tersebut, antara lain, pelepasan lahan (enclave) pemukiman dan perkebunan warga yang masuk dalam wilayah HGU. Kedua, aktivitas lahan di luar HGU akan dibicarakan di tingkat provinsi. Ketiga, kewajiban perusahaan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat paling rendah 20 persen dari total luas areal yang diusahakan, secepatnya direalisasikan.

Kewajiban 20% ini diatur dalam UU 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang mewajibkan perusahaan perkebunan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar. Serta, Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 18 Tahun 2021 (dan peraturan terkait lainnya), yang memperjelas bahwa kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat minimal 20% dari luas tanah HGU yang dimohon atau diusahakan.

Wakil Bupati Donggala Taufik M Burhan yang memimpin rapat kemudian meminta PT LTT menanggapi permintaan warga.  Seperti yang diduga, perwakilan PT LTT menolak tuntutan warga.  Alasannya, mereka mempunyai dokumen tentang kepemilikan HGU. ‘’Soal tuntutan warga tidak bisa kami penuhi, kami juga mempunyai dokumennya. Soal permintaan untuk menyerahkan lahan, itu tergantung atasan kami di Jakarta,’’ elaknya.

Ketua Satgas PKA Eva Susanti Bande, menyampaikan kedatangan Satgas PKA di rapat tersebut bukan untuk menyepakati rekomendasi yang dibuat oleh Pemda Donggala. Kecuali jika rekomendasi itu, sejalan dengan asas keadilan. ‘’Dalam penyelesaian Konflik agraria aspek yang paling penting itu adalah aspek keadilan,’’ tekan Eva memulai pernyataannya.

PT LTT ungkap Eva, bertindak  dzolim terhadap warga Desa Toviora. Misalnya luaslahan  sekitar 4.000 dan peruahaan hanya  menyisakan sekitar 16 persen  wilayah yang bisa kelola.  ‘’Ini zholim Pak. Anda perusahaan jangan hanya Anda yang mau hidup. Masyarakat juga punya hak untuk hidup. Tidak boleh begini,’’ ujar Eva sambil menatap kearah perwakilan PT LTT.

Satgas PKA Sulteng menurut dia tetap merekomendasikan agar lahan/pemukiman masyarakat yang masuk dalam HGU di enclave (dilepaskan). Termasuk sambung Eva  lokasi klaim masyarakat seluas 1.500 hektar  dapat dijadikan tempat lokasi plasma.

Ditempat yang sama Kapolres Donggala AKBP Angga Dewanto Basari, menjamin Polres Donggala tidak bersikap refresif menangani konflik agraria. Aparat bersikap persuasive dan mengedepankan sisi kemanusiaan. ‘’Dan itu sudah kami tunjukan selama ini, ketika kasus tersebut mencuat,’’ katanya di depan peserta rapat.

Untuk untuk tindak lanjut rapat ini selanjutnya Pemerintah Kabupaten Donggala akan membentuk tim kecil untuk membahas tindaklanjut dari poin-poin rekomendasi tersebut. Menurut Syamsudin pihaknya tetap menyambut pembentukan  tim kecil tersebut.

Namun jika tim ini tidak mengakomodir poin poin yang menjadi keberatan mereka, apa pun itu akan tetap ditolak. ‘’Kami tolak jika hanya untuk kepentingan perusahaan,’’ pungkasnya. ***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *