Cocokkan Aduan Warga, Satgas PKA Bersama OPD, Investigasi Kerusakan Mangrove di Desa Torete

iklan

PALU, PIJARSULTENG.ID – Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Agraria (Satgas PKA) Sulawesi Tengah bersama sejumlah OPD,  mendesak PT Teknik Alum Service (PT TAS) segera melakukan rehabilitasi ekosistem setelah dugaan kerusakan  pada hutan mangrove di kawasan Torete, Bungku Pesisir Kabupaten Morowali. Hal ini terungkap pada rapat tindaklanjut di Satgas PKA, Kamis 27 November 2025. Selain kerusakan, Eva meminta perusahaan tidak mengabaikan hak-hak keperdataan warga Desa Torete yang tanahnya kini berubah menjadi jalur houling perusahaan.

Rapat tindak lanjut yang dipimpin oleh Ketua Satgas PKA Sulteng, Eva Bande di Palu, membahas pengaduan masyarakat setempat mengenai hancurnya mangrove dan hilangnya mata pencaharian utama mereka, yaitu kerang. Rapat ini merupakan kelanjutan dari pertemuan sebelumnya pada 25 November 2025 di Kantor ESDM Sulawesi Tengah.

Eva Bande secara tegas mengingatkan perusahaan bahwa perlindungan pesisir diatur kuat oleh Undang-Undang No. 2 Tahun 2007 juncto UU No. 1 Tahun 2014. Aturan ini melarang keras konversi ekosistem mangrove serta aktivitas industri yang tidak menjamin keberlanjutan fungsi ekologis pesisir. “Merusak mangrove di area APL (Areal Penggunaan Lain) tetap dilarang dan dapat dikenakan sanksi hukum berat,” tegas Eva. Ia memastikan bahwa pengaduan warga akan diverifikasi di lapangan bersama Gakum Kehutanan dan Gakum Lingkungan Hidup untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran tersebut.

Meskipun secara perizinan, PT TAS sudah mengantongi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPR)—yang diajukan pada 2023 di Morowali dan diperbarui April 2025 oleh Kementerian ATR/BPN, menurut Gerhan Julianto Hasiholan dari Dinas ESDM masalah di lapangan tetap muncul.

Perwakilan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sulteng membenarkan bahwa dokumen Terminal Khusus (Tersus) PT TAS di Torete dan Buleleng telah lengkap. Namun, DLH mengakui bahwa kontruksi Tersus yang hanya berupa timbunan material itu telah memicu masalah baru berupa sedimentasi yang merusak lingkungan sekitar. DLH mengusulkan perlunya pemulihan segera, bahkan menekankan perusahaan harus melakukan kompensasi penanaman mangrove di tempat lain, misalnya seluas dua hektar, jika terbukti mengeksploitasi area mangrove.

Sorotan lainnya datang dari Arif Latjuba Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP). Ia menyoroti prosedur perizinan Tersus yang dinilai terbalik. “Izin lingkungan harus beres dulu baru melakukan aktivitas, tidak boleh sebaliknya,” ujarnya.

DKP memaparkan bahwa saat ini hanya tersisa 12,98 hektar mangrove yang masih tumbuh baik, sementara sisanya sudah dibabat. Arif Latjuba mengingatkan agar reklamasi yang sudah eksisting di Buleleng dan Torete ditinjau ulang karena belum memiliki izin reklamasi. Meskipun demikian, ia juga mencatat bahwa karena statusnya sebagai Proyek Strategis Nasional, ada kemungkinan izin reklamasi sudah terbit di Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta.

Akibat kerusakan yang terlanjur terjadi, baik DKP maupun DLH sepakat mendesak PT TAS untuk segera bertanggung jawab dengan melakukan rehabilitasi ekosistem di area yang terdampak. Satgas PKA dan OPD teknis terkait dijadwalkan akan bertemu langsung dengan pihak perusahaan pada awal Desember 2025 untuk mengklarifikasi dan menindaklanjuti semua temuan di lapangan. Tim Satgas bersama OPD teknis mengadakan pertemuan dengan pihak perusahaan pada awal Desember 2025 mendatang. **

Sumber: PKA

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *