
PALU.PIJARSULTENG.ID– Membedah potensi yang dimiliki Sulawesi Tengah (Sulteng) oleh para pemangku kebijakan dan pelaku usaha, mereka menilai bahwa kekayaan sumber daya alam,terutama nikel belum berhasil mengangkat kesejahteraan masyarakat secara signifikan digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulteng bersama Bank Indoneeia (BI)
Diskusi yang mengangkat tema Mengurai Benang Kusut Investasi, Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Sulteng, Untuk Mewujudkan Ekonomi Inklusif dan Berkeadilan, dihadiri sejumlah wartawan.
Isu ini mencuat dalam Dialog publik investasii Ekonomi dipenghujung tahun 2025 dihadiri 30 peserta di Palu, Kamis (27/11/2025).
Dari perspektif makroekonomi, pertumbuhan Sulteng sejatinya ditopang lonjakan harga nikel global. Namun menurut Miftachul Choir dari Deputi Perwakilan BI Sulteng, dampak positif itu tidak serta merta menetes ke ekonomi masyarakat.
Ia menilai belanja pemerintah daerah justru menurun akibat kebijakan efisiensi, sementara sektor pertanian yang menjadi kekuatan lama Sulteng justru belum diberdayakan maksimal.

“Sulteng tidak hanya kaya nikel, tapi juga penghasil kakao terbesar di Indonesia. Sayangnya potensi ini belum benar-benar dimaksimalkan,” ujar Mitftachul Chair.
Ia menambahkan, porsi dana bagi hasil (DBH) nikel yang diterima daerah juga tidak sebanding dengan nilai produksi tambang.
Dari sekitar Rp 570 triliun nilai ekonomi nikel, Sulteng hanya mendapat Rp 200 miliar.
Moderator diskusi, Temu Sutrisno, menegaskan adanya ironi besar dalam struktur ekonomi daerah. “Potensi begitu besar, tapi kemiskinan masih membayangi. Ini kontradiksi yang harus diselesaikan,” katanya.
Sementara Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulteng Wijaya Chandra dari kalangan usaha menyoroti arah investasi yang selama ini terserap dominan oleh sektor pertambangan.
Menurutnya, visi Gubernur Sulteng yang ingin memperkuat pertanian harus mendapat dukungan regulasi yang seragam mulai pusat hingga daerah.
“Saya baru bertemu investor di Tiongkok, dan mereka melihat Indonesia punya potensi, tapi regulasinya harus satu komando,” kata pengusaha yang akrab disapa Ko Awi itu.
Selain itu, perwakilan Dinas Penanaman Modal dan PTSP Sulteng, Teguh Ananta, menilai investasi yang masuk masih bersifat padat modal sehingga manfaatnya belum dirasakan langsung masyarakat. KIA






